Jakarta (28/7) — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi mengatakan seni sebagai ruang edukasi dan ekspresi anak-anak dapat digunakan untuk menumbuhkan dan menanamkan nilai-nilai Pancasila, khususnya kemanusiaan dan persatuan. Dalam konser bertajuk “Pancasila Voice of Humanity: Angklung Simbiosis”, Menteri PPPA mengungkapkan apresiasi dan rasa bangganya terhadap anak-anak yang sangat piawai memainkan alat musik angklung dan menunjukkan hasil kerja keras mereka.
“Perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk menciptakan harmoni. Seperti nada-nada angklung yang berbeda, tetapi bersatu menjadi musik yang indah. Pancasila bukan sekadar lima sila di buku pelajaran. Pancasila adalah denyut nadi kebangsaan, detak hati nurani Indonesia. Hari ini, kita bersama anak-anak bangsa sedang menyatukan suara kemanusiaan dalam harmoni. Kita sedang membentuk simfoni Pancasila,” tutur Menteri PPPA.
Konser yang digelar di Kementerian Budaya, Jakarta (26/7) mengusung tema “Pencarian Hati Nurani yang Hilang”. Konser ini merupakan pertunjukan seni kolaboratif yang menggabungkan angklung, sasando, teater, tari, mini orkestra, dan pameran seni rupa. Alat musik tradisional berpadu dengan instrumen modern, seperti gitar, bass, drum, dan saxophone menampilkan keberagaman sebagai kekuatan yang berpadu dalam harmoni. Acara ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI, Luminare Domus, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Istimewanya, konser ini melibatkan anak-anak dari berbagai latar belakang, termasuk anak pemulung, komunitas disabilitas netra (vision disable), komunitas Luminare Domus, mahasiswa, hingga musisi dari The Professor Band Universitas Indonesia. Turut hadir mengisi dialog dan orasi kebangsaan bersama Menteri PPPA, yakni Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc.
Dalam dialog kebangsaan di panggung, Menteri PPPA juga menyoroti pentingnya ruang bermain dan interaksi sosial bagi anak-anak. Ia menekankan di era digital ini, keterhubungan manusia harus tetap dijaga melalui aktivitas langsung yang membangun empati dan toleransi.
“Ketika anak-anak bertemu dan bermain bersama, mereka belajar mengenali dan menghargai perbedaan. Jika ini dikelola dengan baik, maka akan tumbuh sebagai fondasi persatuan. Inilah makna dari Bhinneka Tunggal Ika,” jelas Menteri PPPA.
Menanggapi isu kekerasan dan dampak negatif gawai, Menteri PPPA menegaskan komitmen Kemen PPPA dalam mendorong aktivitas positif dan bermanfaat bagi anak-anak. Salah satunya melalui kampanye permainan tradisional lintas kementerian dan lembaga.
“Mari kita jadikan anak-anak Indonesia sebagai generasi yang cerdas, bahagia, dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan. Dunia mereka adalah dunia bermain dan belajar dalam keberagaman. Kita orang dewasa wajib mengantarkan mereka menuju masa depan Indonesia Emas 2045,” tutup Menteri PPPA.