Oleh: Sonny Majid
Perhelatan G20 telah berakhir. Banyak kalangan awalnya pesimis, pelaksanaan G20 di Bali tidak menelorkan deklarasi. Nyatanya, dalam pertemuan negara-negara yang dianggap maju tersebut menerbitkan deklarasi, yang salah satunya paling populer adalah menghentikan perang Rusia dan Ukraina.
Meski juga banyak kalangan yang menilai, bahwa perang Rusia-Ukraina adalah bagian dari strategi penjualan/pembelian gas di “black market,” atawa monopoli Rusia.
Namun entahlah, benar atau tidak. Pastinya, beberapa negara yang ternyata getol mengaku ada di belakang Ukraina, toh juga pada akhirnya membeli gas dari Rusia juga, seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, yang sedari awal dikait-kaitkan ada di belakang Ukraina melalui NATO.
Namun ada yang menarik di balik G20, yaitu pernyataan Klaus Schwab si pemimpin Wordl Economic Forum (WEF) yang menyebutkan bahwa hari ini terbukti “globalisasi” sudah tidak efektif lagi. Alias, gagal menawarkan solusi bagi dunia yang damai. Meskipun sebelumnya, Schwab merupakan salah satu orang yang ikut menggembar-gemborkann “globalisasi.”
Sedari awal, dalam banyak diskusi, saya selalu menegaskan bahwa “globalisasi” adalah reinkarnasi dari kapitalisme global yang hanya berubah nama, bentuk sama. Ujung-ujungnya adalah pasar bebas, mekanisme pasar, apapun itu. Negara-negara maju masih tak ingin negara-negara berkembang naik kelas menjadi negara maju, lantaran kekhawatirannya kehilangan market share.
Schwab melihat yang terjadi hari ini justru perkembangan geopolitik dan geoekonomi dunia berkembangan dengan banyak kutub. Semisal yang disampaikan Andi Hakim, pemerhati masalah internasional dalam artikelnya “The end of Globalization” yang dimuat situs The Global Review, bahwa yang terjadi hari ini adalah kemunculan banyak blok seperti BRICS, G20, G7 BRICKS dan lainnya.
Globalisasi yang disuarakan GATT maupun WEF sebenarnya hanya ingin mendesain kebijakan unipolar dalam perdagangan internasional, yang kabarnya ini adalah bagian dari skenario negara-negara maju untuk menguasai negara-negara berkembang dalam mempertahankan sasaran pasarnya, khususnya bagi negara-negara di Eropa Barat.
Skenario itu sepertinya terbaca, hingga akhirnya kini banyak negara-negara maju non Eropa Barat membuat blok-blok dagang tadi, yang tujuannya adalah mengimbangi gempuran negara-negara Eropa Barat, atau bagian dari bentuk perlawanan. Kehadiran BRICKS cukup menghawatirkan banyak pihak, blok ini digagas oleh China, India, Rusia, Brasil dan Afrika Selatan.
Tetap saja, jabat tangan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping di perhelatan G20 menegaskan bahwa kedua negara itu “sama-sama pedagang,” yang kerap mendesain “sandiwara perang dagang.”
Namun yang tak kalah penting diamati, perang Rusia dan Ukraina, jangan-jangan gambaran kembali ke masa lalu, dimana penguasaan ekonomi melalui agresi militer, sebagaimana di era- Perang Dunia (PD) I dan PD II, entahlah.